Kamis, 13 Oktober 2011

PENYAKIT EMBUN TEPUNG PADA APEL

Penyakit Embun Tepung Pada Apel

Embun tepung (poedery wildew) pada apel mulai dikenal di Batu , Malang sejak tahun 1960-an yaitu sejak apel dibudidayakan secara besar-besaran disana dan dikenal sebagai ‘penyakit cambuk putih’ (Anon, 1979). Untuk pertama kali penyakit berkembang secara epidemis pada tahun 1977 (Sastrahidayat, 1978). Penyakit timbul pada 73% dari daun-daun muda, dan jika tanaman tidak disemprot dengan fungisida produksi dapat berkurang antara 75 – 90% (Suhardi et al., 1978). Biasanya penyakit timbul pada musim kemarau.
Di Jawa tengah embun tepung untuk pertama kalinya dilaporkan dikebun Pagilaran Pekalongan, pada tahun 1971 (Sukirman dan Semangun, 1972). Embun tepung pada apel terdapat disemua negara penghasil apel, baik didaerah tropika maupun daerah beriklim sedang. Kerugian yang disebabkannya bervariasi tergantung dari kondisi iklim, ketahanan kultivar, dan praktek pengelolaan tanaman (Jones dan Aldewickle, 1997).
Di negara sekitar antara lain terdapat di Filipina (Benikno dan Quebral, 1977), India (Pathak, 1976), dan Australia (Persley, 1933), bahkan di Inggris pada tahun 1970-an kerugian karena embun tepung meningkat, bersamaan dengan berkurangnya karena penyakit kudis [Venthuria inaequalis (Cke.) Wint. apud Thum.] (Anon., 1975).
A. Gejala
Gejala penyakit dapat timbul pada daun, ranting, bunga, dan buah. Pada bagian yang terserang, jamur membentuk lapisan putih seperti beledu bertepung, yang terdiri atas miselium, koniofor dan konidium jamur. Gejala segera tampak setelah kuncup berkembang menjadi daun dan tunas yang baru. Daun yang sakit parah menggulung, kerdil, keras dan rapuh, diselimuti oleh miselium jamur dan akhirnya rontok. Gejala awal pada daun yang sakit adalah terbentuknya bercak-bercak kecil bertepung, berwarna putih atau putih kelabu pada sisi bawah daun, tetapi setelah berkembang kedua sisi daun dan ranting tertutup oleh lapisan bertepung . Jamur berkembang di atas permukaan daun. Permukaan yang lebih atas biasanya terinfeksi lebih dulu dan mungkin menyebar pada daun yang lebih rendah. Bagian daun yang tertular mungkin menguning dan berubah, terutama pada daun-daun muda. Infeksi yang tinggi menyebabkan kerontokan daun lebih dini. Buah yang terinfeksi mungkin pecah karena tidak dapat tumbuh normal.
Serangan pada bunga tampak jelas pada tangkai bunga yang menjadi berwarna putih. Proses pembuahan dapat gagal, bunga mati dan rontok. Pada buah muda jamur membentuk miselium putih. Buah dapat tetap kecil atau bentuknya agak berubah. Kelak permukaan buah yang terserang akan berwarna coklat dan kasar (Russeting; ”Nyawo”, Jw., seperti buah sawo) sehingga harganya sangat berkurang. Penyakit juga dapat mengganggu pertumbuhan tanaman muda dipembibitan.


Gambar 1.1. Gejala embun tepung pada tunas apel
B. Penyebab penyakit
Embun tepung pada apel disebabkan oleh Podoshpaeria leucotricha (Ell. et Ev.) Salm., yang juga disebut sebagai Oidium farinosum Cke. Jamur mempunyai miseluim yang tedapat pada permukaan jaringan tanaman yang membentuk jaringan haustorium (alat penghisap) yang membentuk agak membulat, masuk kedalam sel-sel epidermis. Miselium membentuk konidiofor seperti tabung yang diujungnya membentuk konidium secara berantai. Konidium seperti tabung pendek sampai agak bulat, hialin, berukuran 21-31×13-18 µm.
Di daerah tropika jamur tidak membentuk tubuh buah. Di daerah beriklim sedang diketahui bahwa jamur membentuk tubuh buah kleistotesium (Sastrahidayat, 1984) yang mungkin juga berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan diri terhadap keadaan yang kurang baik. Kleistotesium bulat, hitam, sebagian tertanam dalam miseluim dengan garis tengah 75-96 µm. Pada permukaan kleistotesium terdapat dua macam rambut, yaitu panjang dan kaku, serta yang pendek dan beliku-liku. Tiap kleistotesium hanya berisi satu askus, berukuran 55-70×40-50 µm. Askus berisi 8 askospora. Yang masing-masing berukuran 20-26×12-14 µm. P. leucotricha adalah parasit obligat yang hanya dapat hidup bila memarasit jaringan yang hidup.
C. Siklus hidup penyakit
Di Indonesia jamur mempertahankan diri dengan mudah karena pada setiap musim selalu terdapat daun apel yang segar. Para petani melaksanakan defoliasi tidak bersama-sama agar dapat memperoleh buah sepanjang tahun. Dengan demikian infeksi selalu ada, pada waktu tidak ada daun, jamur bertahan pada sisi-sisi kuncup, dan dari sini akan menyerang daun muda yang berkembang dari kuncup itu.
Menurut Sastrahidayat (1984) konidiofor umumnya mulai membentuk konidium pada pukul 15:00. Pukul 06:00 pagi berikutnya konidium membentuk rantai terpanjang. Konidum mulai dipencarkan pada pukul 09:00, dengan pemancaran maksimum antara pukul 12:00 – 13:00. Konidium di pencarkan oleh angin. Konidium yang jatuh pada daun muda mulai berkecambah setelah 6 jam, dan setelah 96 jam sudah dapat membentuk konidium baru.
D. Faktor yang mempengaruhi penyakit
Karena sumber infeksi dan jaringan yang selalu ada, berjangkitnya penyakit lebih ditentukan oleh kadar lingkungan. Perkecambahan konidium dan infeksi yang paling baik terjadi pada kelembaban nisbi udara 70 – 80%, jadi justru pada cuaca yang relatif kering. Suhu yang optimum untuk perkecambahan konidium dan infeksi adalah 20 -25o C. Suhu yang lebih tinggi dari 30o C dapat mematikan jamur. Intensitas sinar matahari yang tinggi menghambat perkecambahan konidium dan infeksi.
Epidemi akan terjadi bila di daerah yang bersangkutan terdapat banyak tunas dan daun muda. Dengan demikian, setelah defoliasi pada musim kemarau panjang merupakan saat kritis bagi terjadinya epidemi panyakit tepung pada apel (Sastrahidayat, 1984). Kultivar apel yang paling banyak ditanam pada waktu ini, yaitu Rome Beauty, Manalagi, dan Princess Noble. Sangat rentan terhadap embun tepung.
E.Pengendalian
1. Mengurangi sumber infeksi dengan membuang atau mengurangi bagian tanaman yang terserang berat kemudian dibakar.
2. Jika diramalkan akan terjadi epidemi, daun-daun muda disemprot dengan fungisida yang sesuai dengan bahan aktif belerang, benomil, biforimat, biterntanol, heksakonazol, dinikonazol, dinobuton, dinokap, karbendasim, dan mankozeb, pirazofos, triadimenol, dan triflumizol. (Anon, 1984, 1997; Roesmiyanto et al., 1991; Rosmahani, et al., 1986; Sastrahidayat, 1984).
3. Pengendalian hayati penyakit tepung (Podosphaera leucotricha) pada apel menggunakan antagonis Trichoderma sp dapat menekan perkembangan penyakit sebesar 90,00 % sampai 94,96 %.
4. Di negara-negara lain sering dilakukan penyerbukan dengan tepung belirang atau penyemprotan dengan bubur California (belirang kapur). Tetapi dikatakan bahwa cuaca panas klon-klon apel tertentu peka terhadap belirang. Fungisida lain yang diberitakan efektif terhadap P. Leucotricha di banyak negara adalah oksitiokuinox, benzimidazol, bupimirat, nitrotalisopropil, dan pirazofos (Jones dan Aldwinckle, 1997).
5. Dengan menyemprotkan fungisida Nimrod 250 EC 2,5-5 cc/10 liter air (500liter/Ha) atau Afugan 300 EC 0,5-1 cc/liter air (pencegahan) dan 1-1,5 cc/liter air setelah perompesan sampai tunas berumur 4-5 minggu dengan interval 5-7 hari.

EKOSISTEM

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi.
Ekosistem merupakan penggabungan dari setiap unit biosistem yang melibatkan interaksi timbal balik antara organisme dan lingkungan fisik sehingga aliran energi menuju kepada suatu struktur biotik tertentu dan terjadi suatu siklus materi antara organisme dan anorganisme ,matahari sebagai sumber dari semua energi yang ada.
Dalam ekosistem, organisme dalam komunitas berkembang bersama-sama dengan lingkungan fisik sebagai suatu sistem. Organisme akan beradaptasi dengan lingkungan fisik, sebaliknya organisme juga mempengaruhi lingkungan fisik untuk keperluan hidup. Kehadiran, kelimpahan dan penyebaran suatu spesies dalam ekosistem ditentukan oleh tingkat ketersediaan sumber daya serta kondisi faktor kimiawi dan fisis yang harus berada dalam kisaran yang dapat ditoleransi oleh spesies tersebut, inilah yang disebut dengan hukum toleransi.
1.2 TUJUAN
Berdasarkan latar belakang, maka tujuan penulisan makalah Ekologi Hewan dengan topik “Interaksi antara hewan pemakan tanaman dengan tanaman disekitarnya” adalah untuk mengetahui bentuk Interaksi yang terjadi antara Hewan pemakan tanaman dengan tanaman yang ada di sekitarnya.


BAB II
PEMBAHASAN

Setiap makhluk hidup berinteraksi dengan lingkungannya. Lingkungan dalam hal ini adalah segala sesuatu yang terdapat di sekeliling makhluk hidup, berupa unsur-unsur biotik maupun unsur abiotik yang mempengaruhi dan dipengaruhi makhluk hidup tersebut.
 Faktor biotik
Komponen biotik terdiri dari berbagai jenis mikroorganisme, cendawan, ganggang, lumut, tumbuhan paku, tumbuhan tingkat tinggi, invertebrata, dan vertebrata serta manusia. Setiap komponen biotik memiliki cara hidup sendiri yang akan menentukan interaksi dengan komponen biotik lainnya dan komponen abiotik. Misalnya tumbuhan hijau melakukan fotosintesis untuk memperoleh makan, herbivora memakan tumbuhan, dan mikroorganisme menguraikan sisa-sisa tumbuhan serta hewan untuk memperoleh energi.
 Faktor abiotik merupakan faktor yang bersifat tidak hidup (non hayati), meliputi faktor-faktor iklim atau klimatik (suhu, cahaya, tekanan udara, kelembaban, angin, curah hujan), dan faktor-faktor tanah atau edafik (jenis tanah, struktur dan tekstur tanah, derajat keasaman atapun pH, kandungan mineral dan air, serta dalamnya permukaan air tanah). Masing-masing faktor tersebut dapat diukur dan diketahui pengaruhnya pada makhluk hidup. Faktor abiotik bersifat saling berkaitan dan tidak satu pun bekerja sendiri-sendiri.
Suatu ekosistem selalu menunjukkan interaksi antara komunitasnya. Interaksi yang terjadi selalu memberikan pengaruh satu sama lain. Pada konteks interaksi antara hewan dengan tumbuhan berbagai pengaruh, baik positif maupun negatif, ditimbulkan oleh keduanya (hewan dan tumbuhan). Interaksi yang dapat terjadi antara hewan dengan tumbuhan meliputi herbivori, insektifori, polinatori, serta koevolusi.
Herbivori




Herbivori merupakan pola interaksi antara hewan pemakan vegetasi dengan tumbuhan dimana interaksi yang paling sering terjadi adalah grazing dan browsing. Grazing adalah interaksi yang melibatkan hewan pemakan rumput-rumputan seperti sapi, kuda, dan kambing. Sedangkan browsing merupakan interaksi yang melibatkan hewan pemakan pucuk atau bagian tanaman lainnya. Browsing kerap kali terjadi misalnya antara jerapa atau gajah dengan tanaman Accacia auricuriformis atau biji tanaman yang dikonsumsi oleh burung. Pengaruh yang disebabkan oleh interaksi tersebut meliputi :

A. Bagi Tumbuhan
Kotoran hewan dapat membantu menyuburkan tanah sehingga pertumbuhan dan perkembangan tanaman tidak terhambat. Perumputan oleh herbivora mempengaruhi ketinggian dan kerapatan vegetasi serta kelembaban relatif mikrohabitat. Pada area yang dikelola dengan baik masih banyak tersedia ruang untuk herbivora sehingga tidak terjadi konsentrasi mamalia,tetapi pada lahan pertanian dimana lanskap mengalami fragmentasi ke dalam beberapa padang rumput, akan terjadi pengelompokan mamalia herbivora yang tidak hanya meningkatkan konsentrasi kotoran tetapi juga meningkatkan peluang rusaknya kotoran dan vegetasi yang ada.
Adanya hewan pemakan biji menjadi salah satu cara tumbuhan untuk menyebarkan bijinya sehingga tumbuhan tersebut dapat memperbanyak keturunannya di wilayah lain. Namun, Biji suatu jenis tanaman yang terbawa oleh hewan bisa saja terjatuh atau ditempatkan pada lahan/wilayah yang tidak kondusif seperti laut atau rawa-rawa sehingga penyebaran biji tidak berhasil dan eksistensi tanaman tersebut berkurang. Hewan pemakan pucuk kerap kali merobohkan tumbuhan, terutama tumbuhan dengan habitus pohon. Perobohan tersebut dapat mengurangi dominansinya terhadap tumbuhan kecil/semak. Semakin banyak perobohan tumbuhan berhabitus pohon oleh hewan maka semakin besar kemungkinan tumbuhan tersebut menjadi langka hingga akhirnya mengalami kepunahan.

B. Bagi Hewan
Karena tumbuhan merupakan produsen primer maka interaksi ini jelas sangat menguntungkan hewan terutama dalam hal pemenuhan nutrisi/sumber makanan. Bagi sebagian besar hewan, tumbuhan menjadi habitat (rumah) serta tempat berlindung dari predator.




Insektifori





Insektifori yaitu interaksi yang melibatkan jenis tumbuhan pemakan hewan yang dalam hal ini adalah serangga. Jenis tumbuhan ini biasanya terdapat pada wilayah yang kekurangan unsur N (nitrogen) sehingga untuk mendapatkan asupan unsur tersebut jenis tumbuhan tertentu mengambil unsur N dari serangga. Contohnya adalah Kantung semar dan sebagian besar jenis dari famili Nepenthaceae, serta tumbuhan Venus dimana daunnya terdiferensiasi menjadi semacam alat gerak untuk menangkap serangga. Interaksi ini dapat menyebabkan kelangkaan beberapa jenis serangga, termasuk serangga-serangga yang berperan dalam peristiwa polinasi, sehingga akan berdampak buruk bagi spesies tanaman lain yang penyerbukannya bergantung pada serangga tersebut.




Polinatori





Polinatori merupakan interaksi antara tumbuhan dengan hewan yang sebenarnya bersifat kebetulan karena sebenarnya ”kunjungan” suatu hewan pada tumbuhan, khususnya bunga, bertujuan untuk mencari makan. Karena itulah dalam proses penyerbukan harus terjalin hubungan timbal balik antara tanaman berbunga dengan polinatornya. Interaksi ini akan terbentuk jika tanaman berbunga dapat menyediakan apa yang dibutuhkan oleh polinator untuk kelangsungan hidupnya. Ketika polinator memperoleh banyak manfaat dari kontaknya dengan bunga, yang dapat berupa makanan, tempat berlindung dan membangun sarang atau tempat melakukan perkawinan maka kontak tersebut dapat menjadi bagian yang tetap dalam hidupnya sehingga akan terbentuk interaksi yang konstan dengan tanaman tersebut. (Griffin dan Sedgley, 1989). Oleh karena itu tanaman berbunga harus mampu menarik polinatornya sehingga mendapatkan kunjungan polinator secara kontinu. Dengan demikian terdapat jaminan terjadinya transfer tepung sari yang mendukung pembuahan (Pacini, 2000).


Koevolusi


Koevolusi merupakan interaksi yang melibatkan adaptasi evolusioner yang bersifat resiprok pada dua spesies. Akan tetapi, dasar genetik pada sebagian besar kasus masih belum dapat ditentukan dan seringkali sangat sulit untuk menentukan bahwa suatu perubahan evolusioner dalam satu spesies merupakan suatu kekuatan selektif yang menginduksi perubahan evolusioner pada spesies yang lain. Interaksi ini misalnya terjadi pada Passionflower vine dengan larva kupu-kupu dari genus Heliconius. Passionflower vine menghasilkan zat kimia beracun yang membantu melindungi daunnya dari serangga herbivora. Suatu kontraadaptasi berkembang pada Heliconius dimana ia mampu mencerna daun Passionflower vine yang beracun tersebut dengan suatu enzim pencernaan khusus. Resistensi larva Heliconius ini merupakan suatu kekuatan selektif yang mengarah pada terjadinya evolusi pertahanan yang dilakukan oleh tumbuhan tersebut. Caranya adalah beberapa daun Passionflower vine kerap terlihat memiliki bintik-bintik kuning dimana bintik-bintik kuning ini merupakan ”senjata” untuk melawan larva Heliconius. Larva Heliconius mengira bintik-bintik kuning tersebut adalah telur dari individu Heliconius yang lain sehingga Heliconius pertama tidak akan meletakkan telurnya pada daun tersebut untuk menghindari adanya kompetisi sehingga kerusakan daun Passionflower vine dapat berkurang (Campbell, 2004).











BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Pada konteks interaksi antara hewan dengan tumbuhan berbagai pengaruh, baik positif maupun negatif, ditimbulkan oleh keduanya (hewan dan tumbuhan). Interaksi yang dapat terjadi antara hewan dengan tumbuhan meliputi herbivori, insektifori, polinatori, serta koevolusi. Herbivori merupakan pola interaksi antara hewan pemakan vegetasi dengan tumbuhan dimana interaksi yang paling sering terjadi adalah grazing dan browsing. Grazing adalah interaksi yang melibatkan hewan pemakan rumput-rumputan seperti sapi, kuda, dan kambing. Sedangkan browsing merupakan interaksi yang melibatkan hewan pemakan pucuk atau bagian tanaman lainnya.

B. Saran

Sebaiknya kita sebagai mahluk Tuhan yang paling tinggi derajatnya,bisa menjaga ekosistem-ekosistem yang ada di sekitar kita baik itu yang abiotik maupun yang biotik melalui usaha pelestarian lingkungan,agar interaksi antara masing-masing ekosistem selalu terjaga.